8 Jun 2013

APLIKASI DOELMATIGHEID THEORY DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Secara normatif UUD 1945 mengamanatkan agar negara memajukan kesejahteraan umum dan berarti kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Salah satu instrumen untuk mewujudkannya adalah hukum, sehingga penegakan hukum harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat pula. Hukum tidak hanya diposisikan sebagai instrumen untuk memberikan kepastian hukum atau ketertiban, atau memenuhi rasa keadilan secara individual. Pandangan hukum untuk kesejahteraan hukum diorientasikan memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang[1]. Tujuan hukum bukan hanya untuk kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.[2]
Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”. Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri Republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum[3].
Pelaksanaan atau praktek hukum di Negeri ini tidak hanya terletak pada aparat penegak hukum, tetapi juga karena diakibatkan oleh kerancuan opini publik dalam mengartikan atau mendefenisikan pengertian tiga substansi hukum yakni keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru di masyarakat kita, akan tetapi sudah menjadi konsumsi publik dimana di dalamnya terdapat perbedaan persepsi atau pandangan mengenai eksistensi penerapan hukum di Indonesia.
     Saat terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan[4]. Dikalangan hakim sendiri ada dua teori Rechtmatig dan Doelmatig. Rechtmatig suatu putusan yang hanya mengandalkan pada hukum dan perundang-undangan saja; sedangkan Doelmatig suatu putusan tidak hanya berdasar pada hukum tetapi juga berdasarkan pada tujuan hukum. Namun demikian dua teori itu sama benarnya. Tetapi untuk mendapatkan putusan yang benar dan adil sangat tergantung pada kualitas logika masing-masing hakim. Tetapi dua teori bisa dipilih salah satu. Rasanya menganut Rechtmatig lebih mudah pertanggung- jawabannya dari pada menganut Doelmatig. Menurut pengamatan dari Prof. Dr. Soeryono Sukanto, SH, dikatakan bahwa masih banyak hakim yang mementingkan Rechtmatig ketimbang Doelmatig. Karena dari segi pertanggungan jawab resikonya lebih kecil menerapkan Rechtmatig ketimbang Doelmatig .
Seperti dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/PUU-X/2012 tentang penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” bertentangan dengan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK terebut, hakim dalam memutus lebih menitikberatkan kepada kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas dalam makalah ini tentang “APLIKASI DOELMATIGHEID THEORY DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
    

BAB 2
PERMASALAHAN
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya permasalahan mengenai penerapan doelmatigheid (kemanfaatan) dalam pembentukan hukum nasional khususnya dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Sehingga, muncul beberapa pertanyaan. Diantaranya adalah :
1.      Bagaimana kedudukan doelmatigheid theory dalam pembentukan hukum khususnya dalam Putusan Hakim?
2.      Bagaimana aplikasi doelmatigheid theory dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012?

  
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1    Kedudukan Doelmatigheid Theory Dalam Pembentukan Hukum Khususnya Dalam Putusan Hakim
Pada hakikatnya pengertian dari doelmatigheid adalah daya guna, kemanfaatan, kegunaan, manfaat dan tujuan; behalve de rechtmatigheid moet ook de – in aanmerking worden genomen selain pertimbangan yuridis, pertimbangan manfaat dan tujuan pun harus diperhatikan[5]. E. Utrecht berpendapat bahwa dia dapat menerima pembagian kekurangan ketetapan kedalam kekurangan yang esensial (inti) dan yang bukan yang esensial. Namun kandungan kekurangan tersebut harus dilihat secara kasuistis yang penting bahwa keputusan administrasi negara adalah pemanfaatan/kegunaannya “doelmatigheid” lebih penting daripada sesuai tidaknya dengan hukum positif “rechtmatigheid[6].
Meminjam istilah dari bidang hukum administrasi, kebebasan itu harus mempunyai doelmatigheid atau tujuan sesuai dengan bevoegheid atau ruang lingkup kewenangan yang dimilikinya bahkan seharusnya sesuai dengan expertise atau keahlian yang dimiliki oleh hakim tersebut. Dalam hal inilah penelitian itu menjadi bermakna[7]. Disamping itu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini berkepentingan, karena masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Dengan adanya sengketa keseimbangan tatanan di dalam masyarakat itu terganggu, dan keseimbangan yang terganggu itu harus dipulihkan kembali[8].
Substansi dari asas doelmatigheid tersebut adalah kemanfaatan. Kemanfaatan pada dasarnya adalah salah satu bentuk asas yang perlu diperhatikan dalam pembuatan suatu hukum terlebih lagi suatu kepastian hukum. Asas doelmatigheid memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi daripada asas rechtmatigheid. Sehingga dalam kondisi apapun ketika asas rechtmatigheid dan asas doelmatigheid ini sangat tidak sejalan bahkan menjadi nampak kontras sekali, maka asas doelmatigheid yang harus didahulukan. Hakikat hukum sendiri bila dilihat pada awal lahirnya hanya mengandung unsur keadilan dan kemanfaatan “doelmatigheid”.
Majelis hakim sudah seharusnya mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas legalitas. Dengan demikian, hakim tidak hanya menjadi mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut, tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejati.
Akan tetapi, seperti diakui sendiri oleh majelis hakim, prinsip ‘rechtsmatigheid’ itu harus diterapkan secara berimbang dengan prinsip ‘doelmatigheid’. Setiap aturan hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai yang diidealkan memberi manfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat teknis. Namun, sebaliknya, tujuan juga tidak boleh menghalalkan segala cara. Karena itu, penting sekali menemukan titik keseimbangan di antara keduanya.
Di dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat disebutkan, bahwa tujuan hukum positif kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berdasarkan tujuan hukum tersebut Soedjno Dirjosisworo mengatakan bahwa tujuan hukum yang sebenar-benarnya adalah menghendaki kerukunan, dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat[9].
Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dan pelaksanaan atau penegakan hukum. Jangan sampai terjadi dalam pelaksanaan atau penegakan hukum ini timbul keresahan di dalam masyarakat[10]. Hakim dalam memutuskan suatu perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan pada asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfataan. Sebagaimana menurut Sudikno Mertokusumo, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara seimbang atau proporsional, mengikuti asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dengan kasus yang dihadapi[11].
Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga asas tersebut di dalam suatu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan (asas prioritas yang kasuistis). Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Kemudian asas kemanfaatan bergerak di antara 2 (dua) asas keadilan dan kepastian hukum, dan asas kemanfaatan ini lebih melihat kepada tujuan atau kegunanaan dari hukum itu kepada masyarakat, karena hakikat sesungguhnya dari hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia dan bukan manusia ada untuk hukum, sebagaimana dikemukakan dalam konsep hukum progresif.
Dalam fakta empiris, ada 2 (dua) putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan kurun waktu lebih kurang 3 (tiga) bulan yang berbeda pertimbangan hukumnya, di mana satu putusan menekankan pada asas kepastian hukum sebagai dasar pertimbangannya, sedangkan putusan yang lainnya mengesampingkan asas kepastian hukum tetapi lebih menekankan pada asas kemanfaatan. Dalam putusan No. 03P/Hum/2000, tanggal 23 Maret 2001 tentang judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), pendirian hakim Mahkamah Agung lebih mendekatkan pada arah kepastian hukum, di mana TGPTPK bukanlah sebagai suatu instansi yang dapat melakukan penyelidikan maupun penyidikan sebagaimana ketentuan dalam hukum pidana formil, sehingga TGPTPK dinyatakan dibubarkan. Adapaun putusan No. 01P/HUM/1999, tanggal 1 Desember 1999 dalam perkara gugatan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), hakim Mahkamah Agung mengesampingkan asas kepastian hukum, dan pertimbangannya lebih mendekat pada asas kemanfataan, dengan alasan lembaga BPPN pada waktu itu masih diperlukan untuk mengatasi keadaan perekonomian yang sedang mengalami keterpurukan.
Dari kedua contoh tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seorang hakim dapat memeriksa dan memutus suatu perkara tidak selamanya terpaku pada asas saja. Pada setiap perkara yang diajukan kepadanya atau secara kasuistis, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat saja berubah-ubah dari asas yang satu ke asas yang lainnya. Yang terpenting hakim harus mempertimbangkan dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu dipilih asas tersebut. Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran bahwa hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus berguna bagi masyarakat banyak[12].   


3.2    Aplikasi Doelmatigheid Theory terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/PUU-X/2012 tentang penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang berisi bahwa “pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adanya diskriminatif dan kesenjangan yang sangat jauh antara RSBI/SBI dengan sekolah non-RSBI/SBI. Penyelenggaraan sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah RSBI/SBI sangat bertentangan dengan rasa keadilan di tengah masyarakat, terutama warga miskin yang berprestasi dan ingin bersekolah di RSBI/SBI sehingga tidak bisa bersekolah oleh karena terbentur biaya yang tidak mungkin dijangkaunya[13].
Putusan MK itu menandakan adanya asas persamaan perlakuan yang sama kepada semua warga negara, dan berkeadilan sosial. Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan konstitusi dengan alasan yang pada pokoknya satuan pendidikan bertaraf internasional:
1.    Bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
2.    Menimbulkan dualisme sistem pendidikan;
3.    Bentuk baru liberalisasi pendidikan;
4.    Menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan;
5.    Berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia;
Menurut Mahkamah, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan pembentukan pemerintah negara Republik Indonesia, sebagaimana terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, … “. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan kebangsaan yang sangat penting yang menjadi tanggungjawab negara. Di samping terkait dengan tanggung jawab untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas secara adil, negara juga bertanggung jawab untuk membangun dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang berkarakter sesuai dengan dasar falsafah negara.
Pendidikan harus diarahkan dalam rangka memperkuat karakter dan nation building, dan tidak boleh lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa yaitu jatidiri nasional, identitas, dan kepribadian bangsa serta tujuan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Mahkamah istilah “Berstandar Internasional” dalam Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, dengan pemahaman dan praktik yang menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam setiap jenjang dan satuan pendidikan sangat berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia. Hal demikian bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada anak didik Indonesia.
Menurut Mahkamah output pendidikan yang harus menghasilkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan memiliki kemampuan berbahasa asing, tidak harus diberi label berstandar internasional. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas, yang salah satunya ditandai dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan.
            Cita-cita tertinggi republik ini adalah mencerdaskan anak-anak bangsa, dengan tidak memberatkan akses ke dalamnya. Ini adalah kemenangan masyarakat yang merindukan dunia pendidikan tak membeda-bedakan kelas. Baik fasilitas, pembiayaan, sarana prasarana, RSBI/SBI dapat fasilitas lebih. Implikasi pembedaan demikian mengakibatkan RSBI/SBI saja yang menikmati fasilitas memadai. Sedangkan sekolah non RSBI/SBI fasilitasnya sangat terbatas.
Fakta lain, bahwa siswa di sekolah RSBI harus membayar biaya lebih banyak. Hanya masyarakat mampu yang bisa sekolah di RSBI. Walau ada beasiswa kurang mampu, tetapi hal itu sangat kecil dan hanya ditujuakan bagi anak-anak sangat cerdas, sedangkan anak tidak mampu secara ekonomi, kurang cerdas, tidak mungkin sekolah di RSBI[14]. RSBI hanya menguntungkan kelas menengah saja, dengan biaya yang mahal tentu rakyat kecil akan merasa didiskriminasikan[15]. Oleh karena itu, adanya Putusan MK ini dapat menghilangkan semua ketidaksetaraan yang ada, sehingga akan muncul pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara secara adil dan merata.
3.3    Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam subbab 3.1 dan subbab 3.2, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1.        Majelis hakim sudah seharusnya mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas legalitas. Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran bahwa hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus berguna bagi masyarakat banyak.
2.        Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan RSBI/SBI, hakim lebih menitikberatkan pada penggunaan doelmatigheid (kemanfaatan) dibandingkan rechtmatigheid (kepastian). Sehingga masyarakat menyambut gembira dengan adanya putusan ini yang menghilangkan semua ketidaksetaraan yang ada dalam pembedaan sekolah RSBI/SBI dan sekolah non RSBI/SBI, sehingga akan muncul pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara secara adil dan merata.
3.4    Saran
Berdasarkan uraian dalam subbab 3.1 dan subbab 3.2, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
1.    Diharapkan dalam pembentukan hukum atau suatu putusan lebih menekankan dan menitikberatkan pada kemanfaatan (doelmatigheid) karena hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dan pelaksanaan atau penegakan hukum yang bermanfaat untuk masyarakat.
2.    Diharapkan hakim selalu mengingat dasar filosofis dan kontitusi kita dalam Pancasila, Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih menekankan pada kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, sehingga dalam mengambil putusan tidak hanya menjadi mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut, tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejati.









[1] Aidul Fitriciada A, 2011, Hukum Untuk Kesejahteraan Rakyat, Suara Merdeka, www.suaramerdeka.com.  
[2]   Zainal Asikin, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 20.
[3] http://hukum.kompasiana.com/2011/04/02/kesemwrawutan-hukum-indonesia-353439.html
[4] Moh. Mahfud MD, Asas Keadilan dan Kemanfaatan, Suara Karya, 12 Desember 2006.
[5]   Marjanne Termorshuizen, 1999, Kamus Hukum Belanda – Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 103.

[6] Boedi Djatmiko, 2009, Karakter Hukum Keputusan PTUN, Yogyakarta, Dapat diakses di http://sertifikattanah.blogspot.com/2009/09/karakter-hukum-keputusan-ptun.html
[7]   Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 82.
[8] Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 92.
[9]   Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9.
[10] Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 131.
[11]  Ibid, hlm. 132.
[12]   Ibid, hlm.134-135.
[13] Warga Jambi sangat setuju pembubaran RSBI dan SBI. www.lipsus.berita21.com. 9 januari 2013
[14]  Putusan MK Bubarkan RSBI. www.jpnn.com. 8 januari 2013
[15]  Masyarakat gelar tumpengan dibubarkannya RSBI. www.edukasi.kompas.com. 10 januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar