BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Secara normatif
UUD 1945 mengamanatkan agar negara memajukan kesejahteraan umum dan berarti
kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Salah satu instrumen
untuk mewujudkannya adalah hukum, sehingga penegakan hukum harus berorientasi
pada kesejahteraan rakyat pula. Hukum tidak hanya diposisikan sebagai instrumen
untuk memberikan kepastian hukum atau ketertiban, atau memenuhi rasa keadilan
secara individual. Pandangan hukum untuk kesejahteraan hukum diorientasikan memberikan
sebesar-besarnya manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang[1]. Tujuan hukum
bukan hanya untuk kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga ditujukan untuk
memberikan manfaat bagi masyarakat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukum
adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.[2]
Indonesia telah
memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat)
yang sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas). Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara
yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa
absolut”. Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali
UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai pernyataan politik dan ikrar
komitmen pendiri Republik (Founding
Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam Penjelasan
Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka,
pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan hukum[3].
Pelaksanaan atau
praktek hukum di Negeri ini tidak hanya terletak pada aparat penegak hukum,
tetapi juga karena diakibatkan oleh kerancuan opini publik dalam mengartikan atau
mendefenisikan pengertian tiga substansi hukum yakni keadilan, kemanfaatan,
serta kepastian hukum. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru di masyarakat kita,
akan tetapi sudah menjadi konsumsi publik dimana di dalamnya terdapat perbedaan
persepsi atau pandangan mengenai eksistensi penerapan hukum di Indonesia.
Saat terjadi pertentangan antara keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan
adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga
menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian
hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan[4]. Dikalangan
hakim sendiri ada dua teori Rechtmatig
dan Doelmatig. Rechtmatig suatu putusan yang hanya mengandalkan pada hukum dan
perundang-undangan saja; sedangkan Doelmatig
suatu putusan tidak hanya berdasar pada hukum tetapi juga berdasarkan pada
tujuan hukum. Namun demikian dua teori itu sama benarnya. Tetapi untuk
mendapatkan putusan yang benar dan adil sangat tergantung pada kualitas logika
masing-masing hakim. Tetapi dua teori bisa dipilih salah satu. Rasanya menganut
Rechtmatig lebih mudah pertanggung-
jawabannya dari pada menganut Doelmatig.
Menurut pengamatan dari Prof. Dr. Soeryono Sukanto, SH, dikatakan bahwa masih
banyak hakim yang mementingkan Rechtmatig
ketimbang Doelmatig. Karena dari segi
pertanggungan jawab resikonya lebih kecil menerapkan Rechtmatig ketimbang Doelmatig .
Seperti dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/PUU-X/2012 tentang penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional. Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan
bahwa “pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional” bertentangan dengan
undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK
terebut, hakim dalam memutus lebih menitikberatkan kepada kemanfaatan hukum.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas dalam makalah ini tentang “APLIKASI DOELMATIGHEID THEORY DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL”
BAB
2
PERMASALAHAN
Bertitik tolak dari
penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya permasalahan
mengenai penerapan doelmatigheid
(kemanfaatan) dalam pembentukan hukum nasional khususnya dalam pengambilan
keputusan oleh hakim. Sehingga, muncul beberapa pertanyaan. Diantaranya adalah
:
1. Bagaimana
kedudukan doelmatigheid theory dalam
pembentukan hukum khususnya dalam Putusan Hakim?
2. Bagaimana
aplikasi doelmatigheid theory dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012?
BAB
3
PEMBAHASAN
3.1
Kedudukan
Doelmatigheid Theory Dalam
Pembentukan Hukum Khususnya Dalam Putusan Hakim
Pada hakikatnya
pengertian dari doelmatigheid adalah
daya guna, kemanfaatan, kegunaan, manfaat dan tujuan; behalve de rechtmatigheid moet ook de – in aanmerking worden genomen
selain pertimbangan yuridis, pertimbangan manfaat dan tujuan pun harus
diperhatikan[5].
E. Utrecht berpendapat bahwa dia dapat menerima pembagian kekurangan ketetapan
kedalam kekurangan yang esensial (inti) dan yang bukan yang esensial. Namun
kandungan kekurangan tersebut harus dilihat secara kasuistis yang penting bahwa
keputusan administrasi negara adalah pemanfaatan/kegunaannya “doelmatigheid” lebih penting daripada
sesuai tidaknya dengan hukum positif “rechtmatigheid”[6].
Meminjam istilah
dari bidang hukum administrasi, kebebasan itu harus mempunyai doelmatigheid atau tujuan sesuai dengan bevoegheid atau ruang lingkup kewenangan
yang dimilikinya bahkan seharusnya sesuai dengan expertise atau keahlian yang dimiliki oleh hakim tersebut. Dalam
hal inilah penelitian itu menjadi bermakna[7].
Disamping itu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan
maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini berkepentingan, karena
masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Dengan
adanya sengketa keseimbangan tatanan di dalam masyarakat itu terganggu, dan
keseimbangan yang terganggu itu harus dipulihkan kembali[8].
Substansi dari
asas doelmatigheid tersebut adalah
kemanfaatan. Kemanfaatan pada dasarnya adalah salah satu bentuk asas yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan suatu hukum terlebih lagi suatu kepastian hukum.
Asas doelmatigheid memiliki tingkat
prioritas yang lebih tinggi daripada asas rechtmatigheid.
Sehingga dalam kondisi apapun ketika asas rechtmatigheid
dan asas doelmatigheid ini sangat
tidak sejalan bahkan menjadi nampak kontras sekali, maka asas doelmatigheid yang harus didahulukan.
Hakikat hukum sendiri bila dilihat pada awal lahirnya hanya mengandung unsur
keadilan dan kemanfaatan “doelmatigheid”.
Majelis hakim
sudah seharusnya mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’
dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas
legalitas. Dengan demikian, hakim tidak hanya menjadi mulut undang-undang dalam
arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut, tangan, mata dan telinga
serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejati.
Akan tetapi, seperti diakui sendiri
oleh majelis hakim, prinsip ‘rechtsmatigheid’
itu harus diterapkan secara berimbang dengan prinsip ‘doelmatigheid’. Setiap aturan hukum mengandung di dalam dirinya
tujuan yang hendak dicapai yang diidealkan memberi manfaat bagi kehidupan
bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh terganggu
atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat
teknis. Namun, sebaliknya, tujuan juga tidak boleh menghalalkan segala cara.
Karena itu, penting sekali menemukan titik keseimbangan di antara keduanya.
Di dalam
pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat disebutkan, bahwa tujuan hukum positif
kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Berdasarkan tujuan hukum tersebut Soedjno Dirjosisworo
mengatakan bahwa tujuan hukum yang sebenar-benarnya adalah menghendaki
kerukunan, dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi
kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat[9].
Hukum itu ada
untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dan pelaksanaan
atau penegakan hukum. Jangan sampai terjadi dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum ini timbul keresahan di dalam masyarakat[10]. Hakim
dalam memutuskan suatu perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan pada asas
kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfataan. Sebagaimana menurut
Sudikno Mertokusumo, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi,
yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara seimbang atau proporsional, mengikuti
asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dengan kasus yang dihadapi[11].
Dalam praktik
peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga asas
tersebut di dalam suatu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, hakim harus
memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan
tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan
(asas prioritas yang kasuistis). Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih
dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis, hakim akan
menjauh dari titik keadilan. Kemudian asas kemanfaatan bergerak di antara 2
(dua) asas keadilan dan kepastian hukum, dan asas kemanfaatan ini lebih melihat
kepada tujuan atau kegunanaan dari hukum itu kepada masyarakat, karena hakikat
sesungguhnya dari hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia dan bukan manusia
ada untuk hukum, sebagaimana dikemukakan dalam konsep hukum progresif.
Dalam fakta
empiris, ada 2 (dua) putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan kurun waktu
lebih kurang 3 (tiga) bulan yang berbeda pertimbangan hukumnya, di mana satu
putusan menekankan pada asas kepastian hukum sebagai dasar pertimbangannya,
sedangkan putusan yang lainnya mengesampingkan asas kepastian hukum tetapi
lebih menekankan pada asas kemanfaatan. Dalam putusan No. 03P/Hum/2000, tanggal
23 Maret 2001 tentang judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK), pendirian hakim Mahkamah Agung lebih mendekatkan pada
arah kepastian hukum, di mana TGPTPK bukanlah sebagai suatu instansi yang dapat
melakukan penyelidikan maupun penyidikan sebagaimana ketentuan dalam hukum
pidana formil, sehingga TGPTPK dinyatakan dibubarkan. Adapaun putusan No.
01P/HUM/1999, tanggal 1 Desember 1999 dalam perkara gugatan BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional), hakim Mahkamah Agung mengesampingkan asas
kepastian hukum, dan pertimbangannya lebih mendekat pada asas kemanfataan,
dengan alasan lembaga BPPN pada waktu itu masih diperlukan untuk mengatasi
keadaan perekonomian yang sedang mengalami keterpurukan.
Dari kedua
contoh tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seorang hakim dapat
memeriksa dan memutus suatu perkara tidak selamanya terpaku pada asas saja.
Pada setiap perkara yang diajukan kepadanya atau secara kasuistis, putusan yang
dijatuhkan oleh hakim dapat saja berubah-ubah dari asas yang satu ke asas yang
lainnya. Yang terpenting hakim harus mempertimbangkan dengan nalar yang baik,
mengapa dalam kasus tertentu dipilih asas tersebut. Penekanan pada asas
kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran bahwa
hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus berguna bagi masyarakat
banyak[12].
3.2
Aplikasi
Doelmatigheid Theory terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/PUU-X/2012 tentang penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Mahkamah
Konstitusi memutuskan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang berisi bahwa “pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adanya
diskriminatif dan kesenjangan yang sangat jauh antara RSBI/SBI dengan sekolah
non-RSBI/SBI. Penyelenggaraan sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah
RSBI/SBI sangat bertentangan dengan rasa keadilan di tengah masyarakat,
terutama warga miskin yang berprestasi dan ingin bersekolah di RSBI/SBI
sehingga tidak bisa bersekolah oleh karena terbentur biaya yang tidak mungkin
dijangkaunya[13].
Putusan
MK itu menandakan adanya asas persamaan perlakuan yang sama kepada semua warga
negara, dan berkeadilan sosial. Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan
dengan konstitusi dengan alasan yang pada pokoknya satuan pendidikan bertaraf
internasional:
1. Bertentangan
dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
2. Menimbulkan
dualisme sistem pendidikan;
3. Bentuk
baru liberalisasi pendidikan;
4. Menimbulkan
diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan;
5. Berpotensi
menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia;
Menurut
Mahkamah, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan pembentukan
pemerintah negara Republik Indonesia, sebagaimana terdapat dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, … “. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan
kebangsaan yang sangat penting yang menjadi tanggungjawab negara. Di samping terkait
dengan tanggung jawab untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh
pendidikan yang baik dan berkualitas secara adil, negara juga bertanggung jawab
untuk membangun dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
berkarakter sesuai dengan dasar falsafah negara.
Pendidikan
harus diarahkan dalam rangka memperkuat karakter dan nation building, dan tidak boleh lepas dari akar budaya dan jiwa
bangsa yaitu jatidiri nasional, identitas, dan kepribadian bangsa serta tujuan
nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Mahkamah istilah
“Berstandar Internasional” dalam Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, dengan pemahaman
dan praktik yang menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam setiap jenjang
dan satuan pendidikan sangat berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan
budaya nasional Indonesia. Hal demikian bertentangan dengan hakikat pendidikan
nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada
anak didik Indonesia.
Menurut
Mahkamah output pendidikan yang harus
menghasilkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia
global dan memiliki kemampuan berbahasa asing, tidak harus diberi label
berstandar internasional. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk
menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas, yang salah satunya
ditandai dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat diakses
seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan.
Cita-cita tertinggi republik ini
adalah mencerdaskan anak-anak bangsa, dengan tidak memberatkan akses ke
dalamnya. Ini adalah kemenangan masyarakat yang merindukan dunia pendidikan tak
membeda-bedakan kelas. Baik fasilitas, pembiayaan, sarana prasarana, RSBI/SBI
dapat fasilitas lebih. Implikasi pembedaan demikian mengakibatkan RSBI/SBI saja
yang menikmati fasilitas memadai. Sedangkan sekolah non RSBI/SBI fasilitasnya
sangat terbatas.
Fakta
lain, bahwa siswa di sekolah RSBI harus membayar biaya lebih banyak. Hanya
masyarakat mampu yang bisa sekolah di RSBI. Walau ada beasiswa kurang mampu,
tetapi hal itu sangat kecil dan hanya ditujuakan bagi anak-anak sangat cerdas,
sedangkan anak tidak mampu secara ekonomi, kurang cerdas, tidak mungkin sekolah
di RSBI[14].
RSBI hanya menguntungkan kelas menengah saja, dengan biaya yang mahal tentu
rakyat kecil akan merasa didiskriminasikan[15]. Oleh
karena itu, adanya Putusan MK ini dapat menghilangkan semua ketidaksetaraan
yang ada, sehingga akan muncul pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara
secara adil dan merata.
3.3
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
dalam subbab 3.1 dan subbab 3.2, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Majelis hakim sudah seharusnya
mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’
dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas
legalitas. Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi,
dengan dasar pemikiran bahwa hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum
itu harus berguna bagi masyarakat banyak.
2.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang penghapusan RSBI/SBI, hakim lebih menitikberatkan pada penggunaan doelmatigheid (kemanfaatan) dibandingkan
rechtmatigheid (kepastian). Sehingga
masyarakat menyambut gembira dengan adanya putusan ini yang menghilangkan semua
ketidaksetaraan yang ada dalam pembedaan sekolah RSBI/SBI dan sekolah non
RSBI/SBI, sehingga akan muncul pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara
secara adil dan merata.
3.4
Saran
Berdasarkan uraian
dalam subbab 3.1 dan subbab 3.2, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan
dalam pembentukan hukum atau suatu putusan lebih menekankan dan menitikberatkan
pada kemanfaatan (doelmatigheid)
karena hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan
kemanfaatan dan pelaksanaan atau penegakan hukum yang bermanfaat untuk masyarakat.
2. Diharapkan
hakim selalu mengingat dasar filosofis dan kontitusi kita dalam Pancasila,
Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih menekankan pada kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial, sehingga dalam mengambil putusan tidak hanya menjadi
mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut,
tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang
lebih sejati.
[1] Aidul Fitriciada A, 2011, Hukum Untuk Kesejahteraan Rakyat, Suara
Merdeka, www.suaramerdeka.com.
[2]
Zainal Asikin, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 20.
[3]
http://hukum.kompasiana.com/2011/04/02/kesemwrawutan-hukum-indonesia-353439.html
[4] Moh. Mahfud MD, Asas Keadilan dan Kemanfaatan, Suara
Karya, 12 Desember 2006.
[5] Marjanne Termorshuizen, 1999, Kamus Hukum Belanda – Indonesia, Djambatan,
Jakarta, hlm. 103.
[6] Boedi Djatmiko, 2009, Karakter Hukum Keputusan PTUN, Yogyakarta,
Dapat diakses di http://sertifikattanah.blogspot.com/2009/09/karakter-hukum-keputusan-ptun.html
[7] Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 82.
[8] Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, hlm. 92.
[9] Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9.
[10] Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Presfektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 131.
[11] Ibid, hlm.
132.
[12]
Ibid, hlm.134-135.
[13] Warga Jambi sangat setuju
pembubaran RSBI dan SBI. www.lipsus.berita21.com.
9 januari 2013
[14] Putusan MK Bubarkan RSBI. www.jpnn.com. 8 januari 2013
[15] Masyarakat gelar tumpengan dibubarkannya RSBI.
www.edukasi.kompas.com. 10 januari
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar