MAKALAH POLITIK HUKUM
PERANAN HUKUM TIDAK TERTULIS DALAM PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM
Disusun
oleh:
Etis
Cahyaning Putri
12/342401/PHK/07664
PROGRAM
PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
BAB
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hukum tidak
tertulis adalah juga hukum kebiasaan, salah satu contoh hukum tidak tertulis
adalah hukum adat Indonesia. Menurut
R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan
hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat
berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Kebiasaan
atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber dari mana dikenal atau
dapat digali sebagian dari hukum di luar undang-undang, tempat kita dapat
menemukan atau menggali hukumnya.
Perkembangan
hukum tertulis dan tidak tertulis sebagai sumber hukum di dalam suatu tatanan
hukum, terus berkembang pesat seiring semakin dinamisnya kehidupan
bermasyarakat dan berkembangnya peradaban umat manusia. Hakim harus memeriksa
dan memutuskan perkara sekalipun hukumnya tidak jelas, tidak lengkap. Ini
berarti bahwa ia tidak terikat pada undang-undang, sehingga dalam hal ini
kebiasaan mempunyai peranan yang penting.
Dengan demikian
dinegara kita kebiasaan merupakan sumber hukum. Kalau pembentukan peraturan itu
selalu dilakukan dalam pengadilan, maka terdapat hukum kebiasaan di samping
undang-undang. Sumber hukum formal adalah sumber hukum dilihat dari segi
yuridis dalam arti formal yaitu sumber hukum dari segi bentuknya yang lazimnya
terdiri dari:
1. UU
2. Kebiasaan
3. Traktat
4. Yurisprudensi
5. Doktrin
Sumber hukum
formal tersebut menandakan kebiasaan juga merupakan sumber hukum dalam hukum di
indonesia. Dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas.
Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam
hukum.
Hal ini untuk
menjamin kepastian hukum. Namun di satu sisi bila hakim tidak dapat menemukan
hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya
dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat
juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia.
Salah satu
contohnya mengenai tanah ulayat masyarakat hukum adat yang di atur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun
1999, tetapi
peraturan ini tidak mengatur secara jelas tentang penyelesaiaan sengketa tanah
ulayat, sehingga hakim tidak dapat menggunakan aturan tersebut sebagai pedoman
untuk memutus sengketa tanah ulayat.
Hakim membutuhkan hukum baru. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk membahas tentang “PERANAN HUKUM TIDAK TERTULIS DALAM PERKEMBANGAN POLITIK
HUKUM”.
BAB
2.
PERMASALAHAN
Bertitik tolak dari
penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya pertentangan antara
yang seharusnya berlaku yakni berlakunya asas legalitas dalam negara hukum
sehingga kepastian hukum itu terpenuhi dan apa yang sebenarnya terjadi yakni
hukum tidak tertulis dapat mengisi kekosongan hukum ketika dalam hukum tertulis
belum mengaturnya.
Lebih lanjut, adanya
suatu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat yang diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional belum
cukup memadai untuk dijadikan solusi penyelesaian sengketa pertanahan khusunya
hak ulayat. Sehingga, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :
1. Bagaimana
kedudukan dan keberlakuan hukum tidak tertulis dalam perkembangan politik hukum
terkait pengaturan tanah ulayat?
2. Bagaimana
peranan Kepala Adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat?
BAB
3.
PEMBAHASAN
3.1
Kedudukan
Dan Keberlakuan Hukum Tidak Tertulis Dalam Perkembangan Politik Hukum Terkait
Pengaturan Tanah Ulayat
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat
dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan),
secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya.
Telah
dikemukakan bahwa kebiasaan adalah sumber hukum di samping undang-undang. Kalau
Undang-Undang itu berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa dan bertentangan
dengan hukum kebiasaan, maka Undang-Undang mengalahkan hukum kebiasaan. Tetapi
pada umumnya telah diakui bahwa hukum kebiasaan dapat mengesampingkan ketentuan
Undang-Undang yang bersifat pelengkap. Termasuk hukum kebiasaan dalah hukum
adat. Hukum adat haruslah dilihat sebagai satu kesatuan hukum tersendiri dan
tidak dapat disejajarkan dengan pembagian atau klasifikasi hukum yang lain.
Penerapan
hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat.
Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat
menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam
aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal
Hukum Adat.
Hak
Ulayat merupakan hak suatu persekutuan hukum (desa, suku) dimana para warga
masyarakat (persekutuan hukum) mempunyai hak untuk menguasai tanah. Sebidang
tanah yang ada disekitar lingkungannya dimana pelaksanaannya diatur oleh Ketua
Persekutuan (kepala suku/kepala desa) yang bersangkutan.
Sedangkan Boedi Harsono mengatakan bahwa :
“Hak
Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya,
yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa. Wewenang dan kewajiban tersebut yang termasuk
bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas
tanah tersebut. Ada juga termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukkan, penggunaan, dan pemeliharaannya”.
Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004 dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau
mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana
terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. Dalam kerangka pelaksanaan
Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal
24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang
memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan
persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
2. Kriteria
dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Masyarakat
hukum adat adalh komunitas sosial manusai yang merasa bersatu karena terikat
oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu,
memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau beberapa orang yang
dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai sebagai
pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun
1999 hanya mengatur tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat
hukum adat, tetapi tidak mengatur mengenai penyelesaian sengketa yang
ditimbulkan dari tanah ulayat.
Sehingga
di beberapa daerah yang masih terdapat masyarakat hukum adat lebih memanfaatkan
aparatur adat seperti kepala adat guna menyelesaikan permasalahan tanah ulayat.
Hakim dalam memutus sengketa tentang tanah ulayat masih memperhatikan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat hukum adat dikarenakan dalam
hukum tertulis belum mengatur mengenai hal tersebut. Oleh karenanya, hukum
tidak tertulis berperan penting dalam perkembangan politik hukum guna mencapai
kepastian hukum.
3.2 Peranan Kepala Adat Dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat
Menurut Soepomo,
pengertian Kepala Adat adalah sebagai berikut “Kepala Adat adalah bapak
masyarakat, dia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia
adalah pemimpin pergaulan hidup dalam persekutuan. Dengan demikian kepala adat bertugas
memelihara hidup hukum didalam persekutuan, menjaga, supaya hukum itu dapat
berjalan dengan selayaknya. Aktivitas Kepala Adat sehari – hari meliputi
seluruh lapangan masyarakat. Tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam
badan persekutuan yang tertutup bagi Kepala Adat untuk ikut campur bilamana
diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir batin
untuk menegakkan hukum.
Adapun aktivitas Kepala Adat dapat
dibagi dalam 3 bagian
yaitu :
1.
Tindakan mengenai urusan tanah berhubung
dengan adanya pertalian erat antara tanah persekutuan (golongan manusia) yang
menguasai tanah itu
2.
Penyelesaian hukum sebagai usaha untuk
mencegah adanya pelanggaran hukum (Preventieve
Rechtzorg) supaya hukum dapat berjalan semestinya
3.
Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan
hukum, setelah hukum itu dilanggar (Repseive
Reshtszorg).
Dengan demikian
Kepala Adat di dalam segala tindakannya dan dalam memegang adat itu ia selalu
memperhatikan perubahan-perubahan. Adanya pertumbuhan hukum, sehingga dibawah pimpinan
dan pengawasan Kepala Adat yang sangat penting adalah pekerjaan di lapangan
atau sebagai hakim perdamaian desa. Apabila ada perselisihan atau perbuatan –
perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka Kepala Adat bertindak untuk
memulihkan perdamaian adat, memilihkan keseimbangan di dalam suasana desa serta
memulihkan hukum.
Penyelesaian
sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal dengan
istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang- Undang Nomor 9
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme
penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan dalam media non litigasi yaitu merupakan konsep
penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu
kesepakatan satu solusi terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win-win solution. ADR dikembangkan oleh
para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih
memiliki akses pada keadilan.
Meskipun
permasalahan pertanahan dan penyelesaian yang timbul dari permasalahan tersebut
telah diatur sedemikian rupa, namun para pihak yang terlibat di dalamnya
mempunyai cara sendiri-sendiri yang mereka anggap lebih baik atau lebih cocok
dipakai untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan yang dialami. Demikian pula
yang dilakukan oleh masyarakat tradisional bila ada konflik mengenai
tanah-tanah ulayat yang terjadi seperti di Kecamatan SOA Kabupaten
Ngada-Flores-Nusa Tenggara Timur biasanya Mosalaki/Kepala Adat akan mengambil
langkah-langkah untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan ini diambil
langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan oleh Mosalaki dengan pihak yang
bersengketa. Hal ini disebabkan kehidupan mereka yang terikat dalam suatu
persekutuan yang berdasarkan keturunan darah (geneologis).
Apabila ada
sengketa tanah ulayat yang sudah diserahkan penyelesaian lewat Kepala
adat/mosalaki maka sudah menjadi kasus sengketa yang besar. Adapun penyelesaian
adat untuk penyelesaian sengketa tanah ulayat antara masyarakat adat Desa Seso
(Suku Meli) dengan masyarakat Desa Waepana di Kecamatan SOA yang dikemukakan
oleh Thomas Thoy selaku ketua adat/mosalaki sebagai berikut:
“cara
penyelesaian adat istiadat itu adalah kepala adat atau mosalaki memanggil para
pihak yang bersengketa ke persidangan adat. Adapun tujuan pemanggilan tersebut
adalah untuk mendengar permasalahan dan kesaksian dari para pihak yang
mengetahui persoalan tersebut.selanjutnya para pihak atau kepala adat mencari
data-data dari pihak manapun untuk memeperjelas kebenaran,sebab data-data dapat
diungkapkan dalam persidangan adat, maka dalam memperoleh data-data yang
lengkap, kepala adat dapat memberikan putusan atas dasar musyawarah.
Apabila dalam
penyelesaian sengketa alternatif yang telah dilakukan telah mengalami jalan
buntu karena kedua belah pihak tidak mau menerima solusi yang ditawarkan oleh
juru penengah, maka juru penengah akan tetap bersedia sebagai fasilitator
sampai dicapai kata sepakat atau ditemukan jalan keluar yang terbaik bagi
sengketa tanah yang terjadi dan kedua belah pihak merasa puas atas kesepakatan
tersebut. Apabila setelah melewati bebarapa kali pertemuan oleh juru penengah
yang sama tetap tidak menemukan jalan keluar maka juru penengah akan
menyarankan agar sengketa tersebut diselesaikan oleh juru penengah yang lebih
berpengalaman misalnya pada tingkat Kecamatan atau lewat Pengadilan.
3.3 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian dalam subbab 3.1 dan subbab 3.2, maka dapat dikemukakan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Hukum
tidak tertulis atau hukum kebiasaan dipergunakan hakim dalam memutus sengketa
yang aturan tertulisnya belum tersedia seperti dalam sengketa tanah ulayat
dalam masyarakat hukum adat. Sehingga hukum tidak tertulis digunakan hakim guna
mengisi kekosongan hukum agar tetap tercapai kepastian hukum;
2. Peranan
kepala adat dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di wilayah tertentu yang
masih mengakui keberadaan masyarakat hukum adat lebih di gunakan daripada
melalui pengadilan negeri. Sehingga meskipun telah ada peraturan tertulis yang
mengatur mengenai penyelesaian sengketa hak ulayat dalam masyarakat hukum adat,
masyarakat hukum adat tetap menggunakan hukum tidak tertulis atau hukum adat
dalam penyelesaian sengketa adat.
3.4 Saran
Berdasarkan
uraian dalam subbab 3.1 dan subbab 3.2, maka dapat dikemukakan saran sebagai
berikut:
1. Diharapkan
adanya pembaharuan UUPA, sehingga hukum adat tidak sekedar di akui
keberadaannya tetapi juga harus didukung peranannya dan keberlakuannya dalam
hukum nasional;
2. Diharapkan
aparat yang berwewenang tetap menghormati eksistensi dan pengakuan adanya
masyarakat adat dan hak-haknya yang secara jelas tertuang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pada pasal 18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang” dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya
dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”.
G.Kertasapoetra,R.G.Kertasapoetra, & A.Setiabudi, 1985, Hukum Tanah, Jaminan
Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT.Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 88.
Boedi Harsono, Ibid, hlm. 57.
Rachamadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4.